Si Penambang Belerang

BY kangerik_ingsun 1 comment

Selamat datang di Kawah Ijen! Inilah pusat danau kawah terbesar di dunia, yang bisa memproduksi 36 juta meter kubik belerang dan hidrogen klorida dengan luas sekitar 5.466 hektar, dengan ketinggian mencapai 2.368 mdpl, terletak di perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso, kawah ini menyuguhkan panorama nan eksotis. Dari atas gunung, kita bisa saksikan pemandangan air belerang serta keindahan alam sekeliling pegunungan. Maha Indah Allah, Maha Sempurna Dia yang telah menciptakan kawah secantik ini.

Kemolekan Ijen mengundang banyak turis domestik maupun mancanegara, untuk menyempatkan bertandang. Alhamdulillah, saya mendapat kesempatan untuk mendaki kawah terindah di Jatim ini. Perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi saya tempuh sekitar 6 jam.

Dari Banyuwangi, saya melewati jalur Ketapang. Gunung ini terletak 15 km dari Kecamatan Licin. Tepat pukul 5 pagi, saya sampai di areal parkir pos Paltuding lereng Gunung Ijen. Matahari baru saja menyembul malu-malu, menampakkan sinarnya untuk menghangatkan penjuru bumi. Sunrise ini terasa begitu nikmat. 
Bergegas, saya lakukan sejumlah persiapan sebelum mendaki. Maklum, ini pengalaman pertama kali saya memuncaki Ijen. 

Untuk menuju kawah Ijen, mau tidak mau, saya harus berjalan kaki. Medan yang bakal saya tempuh adalah jalan setapak berpasir yang sangat rapuh. Tentu tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan. Saya harus menempuh jarak sekitar 4 km dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam.

Tatkala mendaki, terhamparlah lukisan alam yang begitu indah dan menakjubkan. Perbukitan yang begitu hijau, bunga-bunga beraneka warna, semua membaur dalam harmoni yang sedap dipandang mata. 
Perjalanan kali ini membuat lidah saya basah oleh tasbih, puja-puji hanya teralamatkan pada Sang Maha Pencipta.

Keindahan Ijen sebanding dengan track yang begitu sulit ditaklukkan. Beberapa kali saya harus menghentikan langkah dan beristirahat sejenak. Medan yang terus menanjak dan berkelok membuat tenaga saya seolah menguap begitu saja.

Dalam pendakian ini, beberapa kali saya berpapasan dengan warga setempat. Mereka memanggul belerang yang sudah mengeras. Sembari ngos-ngosan, mereka terus berjalan, terus bergerak, walau tertatih. Ada sejumlah penambang yang—barangkali lantaran kelelahan—harus duduk-duduk istirahat. Mereka saling berbagi air minum, sekedar untuk melegakan kerongkongan yang mengering.  Wajah lusuh nan lelah terpancar dari para penambang belerang ini.

Fisik mereka yang begitu liat, ditempa perjalanan hidup yang tak bisa dibilang mudah. Walau usia tak bisa terbilang muda, para penambang belerang itu tak mau menyerah pada nasib. Mereka terus berjuang. Mengumpulkan belerang demi belerang, apapun resiko hidup yang harus mereka hadapi. Bismillah! Saya seolah mendapat suntikan energi baru, usai bersua dengan mereka. Bismillah! Saya mau menuju kawah Ijen, semangaaat!

Setelah 3 jam melakukan pendakian, tibalah saya di kawah Ijen. Perjalanan yang amat melelahkan terbayar dengan landscape Ijen yang entahlah... saya sampai kehabisan kosakata untuk menunjukkan betapa menakjubkannya pemandangan yang terbentang di depan mata saya.

Allahu Akbar....! Allahu Akbar....! Di puncak Ijen, saya begitu merasakan ke-Maha Hebat-an Allah. Tak henti lidah saya mengucap tasbih, mengagumi mahakarya Sang Maha Pencipta.

Di Ijen inilah, saya lagi-lagi bersua dengan sejumlah warga lokal penambang belerang. Tubuh liat mereka tentu bukan hasil latihan di fitness center mahal ala kota metropolitan. Fisik tangguh mereka adalah produk kerja keras, atau lebih tepatnya, kerja yang teramat sangat keras..! Dalam sehari, masing-masing dari mereka dua sampai tiga kali melakukan pendakian dengan memanggul beban 50 kg belerang di pundaknya! 

Subhanallah... saya saja, hanya untuk satu kali muncak ke kawah Ijen harus mengeluarkan tenaga yang tidak sedikit.  Itupun harus diselingi banyak istirahat. Padahal, usia saya terbilang jauh lebih muda. 

Kekaguman saya belum berhenti sampai di sini. Bayangan polusi belerang yang mengancam paru-paru mereka, ancaman longsor yang bisa terjadi setiap saat, atau bahkan jatuh ke jurang apabila dilanda lelah yang amat sangat... Belum lagi, erupsi Gunung Ijen yang masih berstatus waspada.... Masya Allah... para penambang ini rela mengambil resiko yang begitu banyak dan mengancam jiwa mereka, hanya untuk belerang seharga 600 hingga 900 rupiah saja, per kilogramnya! Benar-benar pengorbanan yang dihargai amat murah.

Seorang warga sempat mengisahkan bagaimana mereka harus terjun ke kawah yang berbahaya untuk menambang belerang. Kawah itu diliputi asap belerang yang membahayakan paru-paru. Kadar oksigen amat tipis, sehingga sangat sulit untuk bernafas. Saya, yang hanya bertahan nangkring beberapa saat di atas bibir kawah, rasanya sudah sangat lemas. Ini memaksa saya harus segera turun. Lagi-lagi, saya membayangkan betapa berat kerja keras mereka mengais rezeki.

Dengan penghasilan itu, ia harus menghidupi keluarganya, membayar biaya sekolah dan kebutuhan anak-anaknya. Apakah penghasilan yang sangat minimalis ini cukup? ”Cukup Mas, berapapun hasilnya, insya Allah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Yang penting syukur marang Gusti Allah Kang Moho Agung,” ucap bapak penambang belerang itu dengan seulas senyum ikhlas menghiasi wajah sepuhnya.

Sekilas, saya melihat si bapak membawa belerang yang sudah dicetak kaligrafi lafadz Allah, Muhammad dan kalimat toyyibah lainnya. Kenapa dicetak seperti itu? “Nggih niki kagem ngemutaken dateng Gusti Allah, ibadah tur ngucap syukur sing katah.” (Ya, ini untuk mengingat Allah, ibadah dan banyak bersyukur.)
Sayup-sayup, ayat yang indah ini berkelibatan di memori saya, “lain syakartum laazidan nakum, walainkafartum inna adzabi lasyadid”.  Bila kita bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, maka Allah akan tambah nikmat itu. Namun apabila kita kufur atas nikmat dari Allah, maka sesungguhnya adzab-Nya sangatlah pedih.

Bapak penambang belerang itu mengajari saya satu hal yang amat berharga. Betapa stok syukur dalam diri ini harus terus di-upgrade, terus, terus dan terus. Bapak penampang belerang itu mengingatkan saya, bahwa terkadang kita lupa bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan. Karena terkadang, kita sering iri dengan kegemilangan hidup orang lain. Terkadang kita enggan mengucap “Alhamdulillah...” dengan sepenuh jiwa.

Sesekali, kita memang perlu menengok ke bawah, agar memahami betapa besar, betapa tidak ternilai, anugerah yang Allah hadiahkan untuk kita.

Terima kasih wahai bapak penambang belerang. Allah tentu mencintai mukmin yang kuat, pandai bersyukur dan selalu menebar manfaat.(*)

1 komentar: