Sang Badut

BY kangerik_ingsun 1 comment

Hari itu Surabaya begitu panas. Sengatan matahari seolah berpadu, menghadirkan bara panas luar biasa. Meski begitu, panasnya Surabaya tak membuat para buruh enggan turun ke jalan. Memperingati May Day, alias Hari Buruh Internasional, mereka tetap menyuarakan berbagai tuntutan. Sebagai seorang pekerja – saya enggan disebut ‘buruh’ – di awal bulan itu saya juga ikut ‘turun ke jalan’.  Bukan untuk demo seperti mereka,  tetapi untuk keperluan mengambil uang gaji, plus belanja keperluan sehari-hari.

Alhamdulillah, gaji sudah masuk. Saya mengambil rupiah secukupnya di ATM sebuah bank syariah. Bersama belahan jiwa, saya menuju sebuah pusat perbelanjaan busana dan perlengkapan bayi. Ya, istri saya tengah berbadan dua. Menjelang persalinan yang tinggal hitungan bulan, kami berencana mempersiapkan pernak-pernik jundi Allah, yang insyaAllah kelak akan diamanahkan kepada kami berdua.

Ketika di area parkir, saya melihat seorang badut berkostum ala Mickey Mouse. Bajunya amat lusuh. Ia menenteng tape (kotak pemutar musik) dengan suara cempreng, khas tape jadul. Ia menggendong bocah kecil. Usianya sekitar 3 tahun dan  tengah tertidur pulas. Di belakangnya, ada gadis mungil berusia sekitar 6 tahun. Mereka berteduh di bawah kerindangan sebuah pohon. Angin panas khas Surabaya, masih berhembus. Saya sempat terheran dengan perilaku Si Badut. Mau-maunya dia mengenakan kostum se-ribet itu, di tengah hawa sepanas ini. Saya menduga mungkin usia Sang Badut berkisar antara 25-30 tahun-an. 

Rentang usia yang sebenarnya produktif tetapi terpaksa harus menutupi “identitas”-nya demi menjaga harga dirinya, atau barangkali juga agar terlihat “beda” dari pengamen lain. Terbersit sebuah prasangka dalam benak, ”Ah, mungkin si badut nyewa anaknya orang. Biasa, modus para pengamen supaya menarik iba dan orang-orang pada mau kasih duit.”

Bergegas, saya dan istri meninggalkan area parkir. Tapi, entah mengapa, pandangan saya belum beralih dari badut dan dua bocah cilik itu. Tiba-tiba si badut membuka topeng Mickey Mouse-nya. Astaghfirullah, ternyata manusia dalam topeng badut itu adalah kakek-kakek sepuh. Uban menutupi kepalanya plus kulit yang sudah amat keriput!

Langkah kami terhenti. Istri saya yang gampang iba hati, berujar pelan, “Ayah, kasihan mereka. Mbah badut dan bocah-bocah cilik itu…”  Istri saya masuk berbelanja. Saya memutuskan tetap berada di luar. Entah mengapa, Si Badut begitu menarik atensi.

Sungguh Allah Maha Menggerakkan hati. Yang tadinya sempat berprasangka, kini hati saya tergerak untuk menyapa mereka bertiga. Saya duduk ngelempoh (duduk tanpa alas di atas tanah) bersanding dengan sang badut.

Kami ngobrol dengan hangat. Badut itu, namanya Mbah Totok. Bocah 3 tahun yang tertidur pulas dalam gendongannya, bernama Iis. Sementara Isma, bocah 6 tahun, kini duduk di bangku kelas 1 SD. Menurut pengakuan Mbah Totok, kedua bocah itu cucu kandungnya. Mereka tinggal bertiga di Mojokerto. Ia dan istri merawat mereka sejak kecil. ”Orang tua Iis bercerai. Bapaknya pemabuk berat. Sedangkan Isma sudah yatim piatu. Pada umur 2 bulan orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan di Banyuwangi. Saat itu, Isma dan kedua orang tuanya hendak memenuhi undangan pernikahan saudara. Mobil yang mereka tumpangi tertabrak kereta api. Semua meninggal seketika kecuali Isma. Ia terpental ke jerami dekat rel dan Alhamdulillah nyawa Isma masih bisa tertolong,” ucap Mbah Totok. 

Keringat tak henti bercucuran dari wajah pria sepuh ini. Namun, ia tetap berkisah dengan renyah. ”Saya jadi badut pas Minggu dan hari libur saja. Kadang mengajak Isma dan Iis. Kami menelusuri Surabaya. Masuk gang-gang perumahan berharap rupiah yang halal. Seminggu, dapatnya 100-125 ribu,” lanjutnya.
Jumlah yang tidak banyak. Terbayang betapa sederhananya kehidupan keluarga pria usia senja ini.
“Mbah, kenapa cucunya tidak dititipkan ke panti asuhan atau diadopsi orang lain?”
“Sudah beberapa kali ada yang ingin mengadopsi mereka, tapi saya menolak.”
“Kenapa kok ditolak, Mbah?” tanya saya penasaran.
“Mas, saya ini bekerja untuk mereka. Saya rela berbuat apa saja agar mereka bisa sekolah, setinggi mungkin. Kalau umur masih ada, insyaAllah akan saya turuti. Saya juga antar mereka ke rumah ustadz belajar mengaji. Kalau diadopsi, saya ragu jangan-jangan mereka kurang memperhatikan pendidikan agama,” ucapnya sembari menerawang.

Mata keriput itu seolah memancarkan sesal mendalam. ”Harapan saya ada pada cucu ini. Anak laki-laki saya pemabuk, yang satu sudah meninggal. Sekarang, saya berharap dan berjuang supaya Iis dan Isma tumbuh jadi anak-anak sholihah, yang akan mendoakan saya ketika saya sudah meninggal dunia.” Mbah Totok mengucapkan kata-kata itu, dengan mata membasah.

Kalimat ini mengiris hati. Sungguh luar biasa, betapa sang kakek amat sayang serta memperhatikan pendidikan agama bagi cucunya. Apakah kita, yang mungkin jauh lebih beruntung daripada Mbah Totok, sudah sepenuh jiwa dan ikhlas berkorban untuk pendidikan putra-putri kita?

Teringat sebuah hadits, “Jika sesorang meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh.” (HR. Muslim)

Sungguh, ini menjadi ibrah (pelajaran) bagi saya. Betapa anak adalah investasi akhirat kita. Apa yang kita didikkan kepada mereka, maka itulah yang akan kita tuai kelak di akhirat.
Iis baru saja bangun dari lelapnya. Dengan sigap, Mbah Totok menuangkan minuman buat si bocah. Isma pun asyik bercengkrama dengan adik sepupunya ini.
“Isma sayang sama kakek?”

Isma memandang saya, sembari menjawab malu-malu, “Iya, aku sayang kakek…” Ia bersandar di tubuh ringkih kakeknya kemudian memeluk pria berhati lembut itu.

1 komentar:

  1. blog keren, tapi hitsnya brenti di angka 2000

    Ayooooo... apdet lageeee

    BalasHapus