Hari itu Surabaya begitu panas. Sengatan matahari seolah
berpadu, menghadirkan bara panas luar biasa. Meski begitu, panasnya Surabaya
tak membuat para buruh enggan turun ke jalan. Memperingati May Day, alias Hari
Buruh Internasional, mereka tetap menyuarakan berbagai tuntutan. Sebagai
seorang pekerja – saya enggan disebut ‘buruh’ – di awal bulan itu saya juga
ikut ‘turun ke jalan’. Bukan untuk demo
seperti mereka, tetapi untuk keperluan
mengambil uang gaji, plus belanja keperluan sehari-hari.
Alhamdulillah, gaji sudah masuk. Saya mengambil rupiah
secukupnya di ATM sebuah bank syariah. Bersama belahan jiwa, saya menuju sebuah
pusat perbelanjaan busana dan perlengkapan bayi. Ya, istri saya tengah berbadan
dua. Menjelang persalinan yang tinggal hitungan bulan, kami berencana
mempersiapkan pernak-pernik jundi Allah, yang insyaAllah kelak akan diamanahkan
kepada kami berdua.
Ketika di area parkir, saya melihat seorang badut berkostum
ala Mickey Mouse. Bajunya amat lusuh. Ia menenteng tape (kotak pemutar musik)
dengan suara cempreng, khas tape jadul. Ia menggendong bocah kecil. Usianya
sekitar 3 tahun dan tengah tertidur
pulas. Di belakangnya, ada gadis mungil berusia sekitar 6 tahun. Mereka
berteduh di bawah kerindangan sebuah pohon. Angin panas khas Surabaya, masih
berhembus. Saya sempat terheran dengan perilaku Si Badut. Mau-maunya dia
mengenakan kostum se-ribet itu, di tengah hawa sepanas ini. Saya menduga
mungkin usia Sang Badut berkisar antara 25-30 tahun-an.
Rentang usia yang
sebenarnya produktif tetapi terpaksa harus menutupi “identitas”-nya demi
menjaga harga dirinya, atau barangkali juga agar terlihat “beda” dari pengamen
lain. Terbersit sebuah prasangka dalam benak, ”Ah, mungkin si badut nyewa
anaknya orang. Biasa, modus para pengamen supaya menarik iba dan orang-orang
pada mau kasih duit.”
Bergegas, saya dan istri meninggalkan area parkir. Tapi,
entah mengapa, pandangan saya belum beralih dari badut dan dua bocah cilik itu.
Tiba-tiba si badut membuka topeng Mickey Mouse-nya. Astaghfirullah, ternyata
manusia dalam topeng badut itu adalah kakek-kakek sepuh. Uban menutupi
kepalanya plus kulit yang sudah amat keriput!
Langkah kami terhenti. Istri saya yang gampang iba hati,
berujar pelan, “Ayah, kasihan mereka. Mbah badut dan bocah-bocah cilik itu…” Istri saya masuk berbelanja. Saya memutuskan
tetap berada di luar. Entah mengapa, Si Badut begitu menarik atensi.
Sungguh Allah Maha Menggerakkan hati. Yang tadinya sempat
berprasangka, kini hati saya tergerak untuk menyapa mereka bertiga. Saya duduk
ngelempoh (duduk tanpa alas di atas tanah) bersanding dengan sang badut.
Kami ngobrol dengan hangat. Badut itu, namanya Mbah Totok.
Bocah 3 tahun yang tertidur pulas dalam gendongannya, bernama Iis. Sementara
Isma, bocah 6 tahun, kini duduk di bangku kelas 1 SD. Menurut pengakuan Mbah
Totok, kedua bocah itu cucu kandungnya. Mereka tinggal bertiga di Mojokerto. Ia
dan istri merawat mereka sejak kecil. ”Orang tua Iis bercerai. Bapaknya pemabuk
berat. Sedangkan Isma sudah yatim piatu. Pada umur 2 bulan orang tuanya
meninggal dalam sebuah kecelakaan di Banyuwangi. Saat itu, Isma dan kedua orang
tuanya hendak memenuhi undangan pernikahan saudara. Mobil yang mereka tumpangi
tertabrak kereta api. Semua meninggal seketika kecuali Isma. Ia terpental ke
jerami dekat rel dan Alhamdulillah nyawa Isma masih bisa tertolong,” ucap Mbah
Totok.
Keringat tak henti bercucuran dari wajah pria sepuh ini.
Namun, ia tetap berkisah dengan renyah. ”Saya jadi badut pas Minggu dan hari
libur saja. Kadang mengajak Isma dan Iis. Kami menelusuri Surabaya. Masuk
gang-gang perumahan berharap rupiah yang halal. Seminggu, dapatnya 100-125
ribu,” lanjutnya.
Jumlah yang tidak banyak. Terbayang betapa sederhananya
kehidupan keluarga pria usia senja ini.
“Mbah, kenapa cucunya tidak dititipkan ke panti asuhan atau
diadopsi orang lain?”
“Sudah beberapa kali ada yang ingin mengadopsi mereka, tapi
saya menolak.”
“Kenapa kok ditolak, Mbah?” tanya saya penasaran.
“Mas, saya ini bekerja untuk mereka. Saya rela berbuat apa
saja agar mereka bisa sekolah, setinggi mungkin. Kalau umur masih ada,
insyaAllah akan saya turuti. Saya juga antar mereka ke rumah ustadz belajar
mengaji. Kalau diadopsi, saya ragu jangan-jangan mereka kurang memperhatikan
pendidikan agama,” ucapnya sembari menerawang.
Mata keriput itu seolah memancarkan sesal mendalam. ”Harapan
saya ada pada cucu ini. Anak laki-laki saya pemabuk, yang satu sudah meninggal.
Sekarang, saya berharap dan berjuang supaya Iis dan Isma tumbuh jadi anak-anak
sholihah, yang akan mendoakan saya ketika saya sudah meninggal dunia.” Mbah
Totok mengucapkan kata-kata itu, dengan mata membasah.
Kalimat ini mengiris hati. Sungguh luar biasa, betapa sang
kakek amat sayang serta memperhatikan pendidikan agama bagi cucunya. Apakah
kita, yang mungkin jauh lebih beruntung daripada Mbah Totok, sudah sepenuh jiwa
dan ikhlas berkorban untuk pendidikan putra-putri kita?
Teringat sebuah hadits, “Jika sesorang meninggal, maka
terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh.” (HR. Muslim)
Sungguh, ini menjadi ibrah (pelajaran) bagi saya. Betapa
anak adalah investasi akhirat kita. Apa yang kita didikkan kepada mereka, maka
itulah yang akan kita tuai kelak di akhirat.
Iis baru saja bangun dari lelapnya. Dengan sigap, Mbah Totok
menuangkan minuman buat si bocah. Isma pun asyik bercengkrama dengan adik
sepupunya ini.
“Isma sayang sama kakek?”
Isma memandang saya, sembari menjawab malu-malu, “Iya, aku
sayang kakek…” Ia bersandar di tubuh ringkih kakeknya kemudian memeluk pria
berhati lembut itu.
blog keren, tapi hitsnya brenti di angka 2000
BalasHapusAyooooo... apdet lageeee